Mengantre dan Pendidikan Karakter, Perlukah Kita “Dijajah” Lagi sama Jepang?

“Ibu, aku mau ini. Eh, mau itu juga, ya!” Teriakan anak perempuan sekira usia delapan tahun itu mengagetkan saya. Tangannya dengan gesit meraih beberapa barang tanpa memerhatikan sekitarnya. Refleks, saya memiringkan badan menghindari gerakannya yang tiba-tiba berada di depan saya, yang kala itu tengah mengantri di kasir sebuah minimarket. 

Tanpa dikomando lagi, kepala saya langsung meleng ke kiri. Seorang ibu tampak asyik bermain gawai dengan sikap abai, sambil sesekali melirik ke arah anak perempuan yang berteriak tadi. Tanpa menghiraukan tatapan saya yang mengancam, ibu ini hanya mengatakan ya dan tidak pada teriakan si anak. 

Hati saya geram. Bukan pada tingkah laku si anak semata, tapi lebih kepada sikap ibunya. Seberapa pentingnya sih, urusan yang dia lakukan dengan gawainya itu? Sampai-sampai tak menghiraukan anaknya yang mengganggu orang lain. 

Saya makin kesal ketika dengan cueknya ibu ini meletakkan belanjaannya di meja kasir, saat saya masih berdiri TEPAT di depannya. 

budaya mengantre


What? Yang benar saja! Kali ini saya meradang. Dengan menahan suara, saya menegur dan memintanya untuk mengambil barang-barangnya lalu membiarkan saya menyelesaikan transaksi dulu. 

Kalian tahu jawabannya? Yup! Hanya lirikan maut dan sedikit gumaman tak jelas dari balik masker yang menutupi wajahnya. That’s it! Tidak ada raut muka menyesal, apalagi permintaan maaf.  


***

Belajar dari Jepang (Lagi)

Sambil berjalan pulang dari minimarket, saya teringat pada seorang kawan yang lama menetap di Jepang. Dalam beberapa kesempatan, kami kerap mengobrol tentang ordinary life di sana. Harus diakui, banyak budaya Jepang yang joss dan layak untuk ditiru. 

Mengantre

Di Jepang, sejak kecil anak-anak sudah dibiasakan untuk disiplin, termasuk urusan mengantre. Buat mereka, mengantre tak sekadar berjejer menunggu giliran. Lebih dari itu, mengantre adalah sebuah semangat super yang sistemik. Saat mengantre, artinya kita mengutamakan yang di depan, memuliakan diri sendiri, dan menghargai mereka yang di belakang. Sesuatu yang sangat berhubungan dengan proses menyongsong keberhasilan dan kesuksesan masa depan, baik secara individu ataupun komunal. 

Saking pentingnya urusan mengantre ini, sekolah-sekolah di negeri matahari terbit itu memasukkannya dalam kurikulum secara implisit. Yang lebih mantul, pemerintah, guru sekolah, pengasuh di daycare, hingga masyarakat pada umumnya memiliki pemahaman yang sama soal pembentukan karakter ini. Kontrol sosial pun berjalan begitu optimal. Hasilnya, masing-masing orang akan menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal konyol kalau tak ingin dapet ‘hukuman’.

Betapa senangnya orang Jepang mengantre. Mau apa-apa serba antre, bahkan untuk urusan ke toilet sekalipun. Perusahaan-perusahaan Nippon juga sangat memprioritaskan proses mengantre dalam rekrutmen karyawannya. Jadi, rasanya di negeri Maria Ozawa ini, peristiwa mengesalkan seperti yang tadi saya alami, tidak akan terjadi. 

Baca juga : How to Treat Kinesthetic Child?

Bersikap Sopan di Area Publik

Di Jepang, jangan harap ada anak yang bisa berlaku seenaknya di ruang publik. Tatapan menuduh dari orang di sekitar akan segera kita terima begitu anak-anak bertingkah improper. Karena itu, seorang ibu akan benar-benar mendidik anaknya agar behave

Pola asuh dan pendidikan karakter adalah hal utama. Anak-anak dibiasakan untuk selalu hormat pada orang tua. Bukan semata orang tua kandung saja. Tapi semua orang yang lebih tua, wajib hukumnya dihormati, tidak peduli kasta sosial mereka. Mau mereka itu majikan, pembantu rumah tangga, atau pengasuh sekalipun, selama mereka lebih tua maka harus dihormati.

Bonding yang Kuat antara Ortu dan Anak

Para orang tua Jepang juga terkenal sangat dekat dengan anak-anaknya, terutama sang ibu. Anak-anak memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya hingga usia enam tahun. Tujuannya adalah untuk membangun bonding yang kuat. Selain ayah dan ibu, nenek kakek juga memegang peran penting dalam membangun karakter anak-anak. Dalam proses ini, transfer spirit dan budaya leluhur sangat kuat terjadi. 

Orang Jepang begitu terikat dengan budaya amae, yang kurang lebih merujuk pada kedekatan emosional antara ibu dan buah hatinya. Budaya ini juga berlaku dalam hubungan sosial orang dewasa secara umum, di mana mereka saling berbagi rasa aman dan kepercayaan kelompok. So, orang Jepang akan sangat menjaga sikap dan perilaku mereka, supaya menjadi contoh anak-anaknya. Termasuk soal mengantre tadi. 


mendidik anak mengantre


Too Much Excuse

Di Indonesia sendiri, perkara nyerobot antrean, anak yang teriak-teriak sambil tantrum di supermarket, atau sekedar berisik di ruang publik sepertinya sudah jadi pemandangan umum. 

“Ah namanya juga anak-anak. Biasalah.” 

Menurut saya kalimat-kalimat seperti itu hanyalah sebuah pembenaran yang tak sepatutnya selalu kita amini.

Semakin sering kita maklumi, kesalahan “kecil” semacam ini akan menjadi bumerang bagi kehidupan bernegara kita. Coba tengok, berapa banyak orang Indonesia yang menyerobot lampu merah, mendobrak antrean di toilet mall, atau mereka yang dengan polosnya masuk di barisan terdepan antrean beli makan pinggir jalan dengan alasan keburu lapar? 

Kalau urusan lapar, semua orang juga pengen makan, Guys

Masalahnya, dengan melakukan tindakan seperti itu, kita tidak mengutamakan yang di depan, tidak memuliakan diri sendiri sekaligus tidak menghormati mereka yang ada di belakang kita. 

Hasrat ingin menjadi yang pertama dan mengalahkan yang lain -apapun caranya- ini tampaknya juga menjadi salah satu alasan maraknya KKN di negara kita. Sikut-sikutan demi mengamankan posisi empuk di kantor pun sepertinya “halal” dilakukan. Orang-orang tidak lagi memedulikan proses. Yang penting sampai di tujuan. Perkara orang lain menderita, itu DL alias Derita Lo! 

Sampai di sini saya tercengang. Sedemikian parahnya urusan tidak taat mengantre ini hingga merasuk sampai ke jiwa? 

Baca juga yang ini: Bangun Family Bonding dengan Aktivitas Bermain

Peran Orang Tua dalam Pendidikan Karakter

Lalu bagaimana peran orang tua -dalam hal ini ibu- sebagai pendidik utama? Apakah kita sudah menjalankan peran dengan optimal seperti orang Jepang? Ataukah kita terlalu permisif dan membiarkan anak-anak bertumbuh dengan cara yang salah?

Well, peristiwa semacam ini mau nggak mau semakin membuka mata saya bahwa peran dan tanggung jawab seorang ibu itu sangat besar. Sebagai peletak dasar paling fundamental dalam pembentukan karakter anak, ibu selalu jadi pihak yang paling mudah disorot (baca: disalahkan).

Tapi tunggu dulu! Bagaimana dengan support system? Sudahkah pemerintah, sekolah, dan masyarakat umum lainnya menjalankan kontrol sosial? Jangan-jangan kita seperti ini juga karena keenakan, tidak ada punishment dan tekanan sosial seperti di negeri sakura sana. 

Ya gimana mau tertib, wong percuma saja. Sudah tertib ngantre, eh diserobot sama orang belakang mbak kasirnya juga diam saja. Satpam supermarketnya cuek bebek. Bla bla bla. Huah! 

Apa iya kita harus “dijajah” Jepang lagi hanya untuk urusan mengantre ini baru kemudian sadar dan berbenah diri? 

Iya sih, nggak akan mudah mengubah karakter seseorang, apalagi sebuah bangsa sebesar Indonesia ini. Untuk itu, kita bisa memulainya dari diri sendiri, dan ajarkan pada anak-anak sejak dini. Bahwa mengantre bukan sebuah tindakan sia-sia. Tapi sejatinya adalah sebuah batu pijakan yang mendasar agar kita paham bagaimana memuliakan diri sendiri dan menghormati  orang lain. 


Happy Parenting!

smartmomhappymom


Posting Komentar

4 Komentar

  1. Saya jadi geli sendiri membayangkan tatapan memgancam mbak Bety, hihihi. Memang ya mbak, suka kesel lihat orang2 yang tidak peduli dengan masalah antre ini. Padahal ini adalah pelajaran karakter yang harus ditanamkan sejak dini.

    Apalagi yang melakukan itu dengan cukenya, tanpa memperdulikan sekitar, tanpa minta permisi lagi, wah bisa bikin raja negara api langsung menyerang. Saya pun akan tegur langsung orang yang suka main serobot kek gitu. Harus kita mulai dari diri sendiri dulu biar jadi kebiasaan yang baik masalah mengantre ini.

    BalasHapus
  2. Aku tuh paling sebel kalau soal perilaku anak...teruuus ada yg memaafkan dengan bilang, "namanya juga anak-anak". NO. Justru sejak anak-anak mereka harus diajari. Huf...ikut kezel...

    BalasHapus
  3. Who ho ho ... kalau saya ada di posisi Mbak Bety, saya juga bakalan mengingatkan.
    Sayang sekali ya, ibunya gak ngajarin anaknya untuk mengantre. Padahal atitude seperti mau mengantre itu penting sekali. Malah lebih penting dari pelajaran yang nilainya tinggi..hihihi

    BalasHapus
  4. Kejadian seperti ini sering terlihat di Indonesia, kadang malah yang diserobot yang dibilang baper dan nggak punya empati. Haha.. kebalik balik, kan?

    Daya setuju poin ini mbak : mengantre adalah sebuah semangat super yang sistemik. Saat mengantre, artinya kita mengutamakan yang di depan, memuliakan diri sendiri, dan menghargai mereka yang di belakang.

    Tepat sekali. Mari kita ajari anak-anak kita sendiri untuk tertib mengantre, paling tidak untuk memuliakan dirinya sendiri. Mulai dari kita lalu menyebar ke sekitar

    BalasHapus

Hi there!

Thank you for stopping by and read my stories.
Please share your thoughts and let's stay connected!