Langkah Mudah Mengelola Stres dan Konflik Batin pada Orang Tua



smartmomhappymom.com ꘡ Langkah Mudah Mengelola Stres - Suara pintu dibanting menutup obrolan kami yang awalnya ringan, namun berujung pada perselisihan. Rafael, waktu itu umur sekitar 10 tahun, dan saya (yang lagi capek-capeknya ngurus bayi lagi tanpa ART) gagal menemukan kompromi atas apa yang kami bicarakan. Jujur, saya sudah lupa apa yang sebenernya kami obrolkan waktu itu. Yang saya ingat hanyalah perasaan saya yang sedang campur aduk. Rasa lelah (fisik dan emosi), membuat saya seperti robot penuh amarah yang siap meledak kapan saja. Di lain sisi, saya lupa bahwa anak mbarep saya sedang dalam masa transisi menjalani fase hidup kami yang baru. 

Ya, selama 9 tahun dia menjadi anak tunggal, tanpa saingan, tak ada lawan. Semua perhatian kami tertuju padanya. Dan saat Kevin lahir, dia harus merelakan semua privilege yang selama ini menggantung di pundaknya. Sayangnya, saya sebagai ibu second dengan rasa baru, masih berjuang mengalahkan ego dan mati-matian meyakinkan diri saya untuk tidak terkena baby blues untuk kedua kalinya, justru terjebak dalam kondisi sulit. Inginnya sih melayani kebutuhan si mbarep seperti biasanya, tapi di waktu yang sama adeknya jauh lebih membutuhkan saya. Belum lagi kebutuhan pribadi saya yang hampir ngga pernah terpenuhi dengan baik, membuat saya exhausted. Mentally down dan tak bertenaga. Saya merasa lelah, pengen rehat sejenak jadi ibu, pengen anak-anak di-mute dulu, disimpen di mana gitu biar saya bisa bener-bener jadi perempuan single yang nggak diribetin sama urusan buntut.

Tapi… faktanya jelas nggak bisa! Realitanya, saya punya 2 anak yang semuanya sangat menuntut pemenuhan kebutuhan dari ibunya. Dan ketika menyadari hal itu, seketika otak saya berputar 180 derajat. Auto nyesel sempet pengen nge-mute anak-anak, nyesel sempet kepikiran pengin balik jadi gadis lagi, dan secara tiba-tiba semua hal itu membuat saya jadi seperti ibu yang tidak manusiawi. Oh, sungguh tekanan batin yang luar biasa! Maju kena, mundur ambyar. 


Kondisi stres pada ibu

Banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa perempuan, terutama ibu, adalah salah satu pihak yang paling rentan disamperin stres. Bahkan beberapa ibu sering kali merasa stres dalam kondisi yang seharusnya netral secara emosional. Misalnya aja nih, pas lagi seru-serunya stalkingin medsos, eh tau-tau nongol tuh obrolan soal ASI dan sufor yang auto bikin kita ngerasa ‘terpanggil’ untuk turut serta dalam adu argumentasi tak berujung, yang kadang kala mirip debat kusir itu. Parahnya, meskipun ‘perang’ itu terjadi di dunia tipu-tipu a.k.a dunia maya, eh lah kok ngebawa-bawa sampai ke dunia nyata. Ya jelas aja kita jadi tambah uring-uringan dan nggak jarang bikin level stres meningkat. 

Saya pernah banget ngerasa down hanya gegara obrolan bukibuk soal ngelahirin sesar dan normal. Mana yang lebih ‘tinggi pangkatnya’ dan mana yang lebih sudra. Seketika, air mata saya meleleh dan kepala saya cenut-cenut saat ada yang bilang ngelahirin sesar itu berarti ibunya manja, gaya, kemayu, kurang berjuang dan mau enaknya aja. Belum lagi, kegagalan saya meng-ASI-hi anak pertama bikin kasta saya makin ndlosor bahkan ambles bumi. Rasanya saya ini adalah ibu yang gagal, bukan ibu ideal. Dan akhirnya saya melampiaskan ‘rasa gagal’ ini dengan memanjakan anak mbarep terlalu berlebihan, dengan alasan untuk menebus ‘kesalahan’ saya melahirkan sesar dan gak bisa ngasih dia ASI. Belakangan, saya baru sadar semua itu sebuah kesalahan lain yang saya buat. 

Well, kembali soal perdebatan saya dan Rafael di awal cerita, saya nggak pernah menyangka bahwa melahirkan kedua kalinya ini juga sempet membuat saya mentally down meski nggak separah yang pertama. Sekuat apa saya mencoba untuk tetap waras, nyatanya ada saja saat di mana saya merasa sangat kelelahan, merasa sia-sia, dan ujungnya saya begitu mudah tersulut amarah. Saya lupa bahwa kunci pertama menjadi orang tua itu adalah keikhlasan. Ikhlas menerima kondisi bahwa ada makhluk mungil yang sangat tergantung pada saya, ikhlas untuk membagi diri bagi anak-anak, dan ikhlas untuk membagi bahagia saya bersama mereka. 

Beruntung, saya bisa pulih lebih cepat ketimbang pas dulu baru jadi ibu untuk pertama kalinya. Mungkin karena faktor U kali ya, makanya bisa begitu. Manusia emang berteman dengan waktu. Semakin lama waktu yang kita habiskan bersama sang waktu, semakin bijaksanalah kita adanya. 

Akhirnya, dengan kesadaran penuh saya pun melakukan kontemplasi, mencari tahu apa sih yang sebenernya saya alami. Saya mencari tahu kondisi diri saya sendiri, mengakui kelemahan, dan mencoba menerima dengan legowo semua perasaan yang ada dalam diri, untuk kemudian melanjutlan proses pengasuhan terhadap anak-anak. Saya belajar mengelola emosi dan semua sumber tekanan yang bisa berdampak pada hubungan dan pola asuh saya pada anak-anak. Saya menekankan pada diri sendiri bahwa anak-anak adalah cerminan diri saya. Jika saya penuh amarah, mereka akan memantulkan amarah juga. Sebaliknya, jika saya dipenuhi kasih dan pengendalian diri, maka saya pun akan menerima hal yang sama dari mereka. 

Dan itulah yang saya lakukan selama beberapa tahun terakhir: mencoba memahami anak-anak, meletakkan kaki saya pada sepatu mereka, dan menerima mereka apa adanya tanpa banyak protes. Sembari melakukan itu, saya mentransfer nilai-nilai, pengetahuan, perasaan, kebiasaan-kebiasaan, dan pola pikir saya pada mereka. Kini, setelah 16 tahun lebih menjadi orang tua, saya bisa bercengkerama akrab dengan si mbarep yang mulai dewasa. Saya bisa berubah menjadi teman si kecil yang masih di bangku SD, dan bersyukur melihat mereka bertumbuh besar tanpa banyak drama seperti yang terjadi di masa lalu. 

Kalau ditanya gimana sih resep untuk melalui fase-fase stressful ini dengan baik, sebetulnya nggak banyak hal yang saya lakukan. Hanya ada 4 step mendasar yang selama ini sepertinya cukup punya andil besar dalam membantu saya mengelola emosi atau menghadapi sebuah masalah dalam pengasuhan dan kehidupan secara umum.

Langkah Mudah Mengelola Stres dan Konflik Batin

1. Menyadari dan mengakui kondisi yang sedang saya alami

Banyak orang tidak mau mengakui bahwa dirinya tengah mengalami kondisi yang nggak oke. Padahal, denying seperti ini nggak akan memberi keuntungan apa-apa. Alih-alih menolak, mengakui dan menerima kenyataan bahwa saya lagi nggak ok, saya lagi down, dan saya butuh rehat sejenak akan membantu kita merunut akar masalah dan mengambil tindakan yang tepat. 

Ibu-ibu bukanlah malaikat yang nggak bisa marah atau emosi. Kita semua bisa banget terpancing emosi dan menjadi temperamental untuk sesaat. Marah bukanlah sebuah dosa. Marah adalah salah satu bentuk emosi yang memang Tuhan kasih untuk kita sebagai manusia. Tapi, bagaimana kita mengontrol kemarahan itulah yang penting. 

Ibu yang baik juga bukan ibu yang enggak pernah negur atau marah sama anak. Tapi, ketika saya marah, saya belajar bagaimana menundukkan ego dan mengelola amarah agar tidak menyakiti anak saya baik secara fisik ataupun verbal dan psikologis.  


2. Mengenal sisi lemah diri dalam menghadapi situasi tertentu

Setiap orang punya kelemahan saat menghadapi situasi tertentu. Kalau saya misalnya mudah terpancing untuk melampiaskan emosi dengan membuang barang, menendang, ataupun melempar. Dulu, saya bisa melakukan salah satu atau beberapa hal tersebut di depan anak. Sekarang, saat emosi negatif itu muncul dan membuat saya ingin melakukannya, saya berusaha meredamnya dan tidak memberinyat tempat untuk berkembang lebih jauh. 


3. Melakukan penguatan mandiri

Setelah mengakui kondisi psikis, mengenal sisi lemah dan mengelola emosi, saya mulai melakukan penguatan mandiri. Saya berusaha mengenal diri saya lebih baik lagi, bersahabat dan mengolah kelemahan yang saya punya. Saya membisikkan pada diri sendiri bahwa nggak masalah jika saya memiliki kelemahan. Tidak masalah seorang ibu terkadang merasa lelah dan ingin beristirahat. Saya hanya perlu mengontrol diri saya dan tidak memberi excuse pada kelemahan itu untuk berkembang lebih besar.  


4. Melakukan sugesti positif/memiliki pengharapan

Dengan memahami kelemahan dan melatih diri untuk mengontrol kelemahan yang ada, saya jadi lebih terbuka. Saya melakukan sugesti positif dan membangun harapan untuk melangkah maju lagi. Saya meyakinkan diri bahwa saya mampu melewati fase sulit ini dan menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.  


Keempat langkah di atas membantu saya untuk lebih enjoy menjani hidup dengan beragam peran yang saya emban. Di sela-sela kesibukan mengurus keluarga dan menjalani profesi sebagai penulis dan blogger, saya juga masih memiliki waktu me time untuk menyenangkan diri sendiri. Saya melonggarkan tali kekang pengasuhan, hubungan suami istri, serta hubungan anak-orang tua yang dulu terlalu kencang dan membuat saya tercekik sendiri. 

Sekarang, saya lebih selow ngadepin maunya anak-anak yang mungkin berseberangan dengan saya, lebih santuy nerima kenyataan bahwa suami saya ‘jalan-jalan’ sementara saya ngerikitin tembok dapur. Di lain waktu saya mesam-mesem pas ada dollar masuk ke paypal. Saya tahu, jiwa saya berkembang lebih lebar, dan saya akan terus membuka diri menjadi orang yang lebih baik lagi.  Bagaimana dengan kalian, Moms?


Salam!




Posting Komentar

4 Komentar

  1. Simbooook... Hikz
    Nggak mudah emang jadi emak-emak tuh. Kadang belum sepenuhnya ikhlas kalo lagi berkutat di dapur bau bawang dan minyak goreng. Sementara yang baru bangun, mandi dan wangi, trs tinggal sarapan doang masih protes kalo keasinan. Hikz kzl... Pengin marah. Tapi... Ah, kenapa gak mikir. Besok masak pakai baju chef biar nggak stress dan berasa cantik kayak chef Renata 😁

    BalasHapus
  2. MasyaAllah simbok, saya banyak belajar soal parenting sama simbok nih. Emang ya kadang tuh kita harus bisa menerima perbedaan dari apa yang kita mau. Belum tentu anak sesuai dengan apa yang kita harapkan atau suami sesuai dengan yang kita mau. Duuh, kadang yo kesel tapi yo kudu sabar hahaha. Semoga kita senantiasa bisa terus sabaar dan santuy yaa Mba dalam menghadapi naik turunnya berumah tangga ini, hihi. Sehat-sehat selalu simbok dan keluarga. Aamiin.

    BalasHapus
  3. Semua ibu rasanya sih udah berusaha maksimal buat anak-anaknya. Tapi kalo udah ada yg mencela dan banding-bandingin...kok gimanaaa gitu. Ini nih yg bikin setres. Kadang sih ada juga pengen memutar balik waktu, diulang lagi, supaya lebih baik lagi...

    BalasHapus
  4. Peluuuuk erat Simbok hebaaat. Luar biasa! Akhirnya berhasil melewati masa-masa sulit. Dari cerita Simbok, aku jadi gak merasa sendirian waktu itu di tahun 2014.dengan kondisi sebaliknya, jarak usia anak yang terlalu dekat, hanya 2 tahun 5 bulan, akhirnya memicu depresi berkepanjangan. Alhamdulillah sekarang sudah sembuh sempurna depresiku, kata psikiater.

    BalasHapus

Hi there!

Thank you for stopping by and read my stories.
Please share your thoughts and let's stay connected!