Tulisan ini buat kalian. Iya, kalian perempuan-perempuan tangguh yang mungkin masih di kamar rumah sakit atau ruang bidan. Kalian yang pasti masih meringis menahan luka di vagina, atau sayatan yang berdenyut nyeri di perut. Ibu-ibu muda yang takut untuk sekedar buang air kecil atau bergerak karena kateter yang nyangkut “di bawah sana”. Semua luka itu memang menyakitkan, I’ve been there before. So, tulisan ini memang saya tujukan untuk kalian.
Now, lihat ke sebelahmu. Mahkluk mungil yang menunggu untuk dibuai. Malaikat kecil dengan mata jernih yang belum lagi terbuka sempurna. Lihatlah jemarinya yang begitu rapuh, rambutnya yang lembut dan aromanya yang khas. Tangisan lirih tapi “mengganggu sekali” itu pasti membuat kalian tak bisa terpejam berlama-lama kan?
“Hei, little dear. Mom’s here. Pelan-pelan saja, Sayang. Mari kita jelajahi dunia penuh warna ini bersama. Jangan kaget ya, sama omongan “penuh makna”, nasihat dan sindiran kejam dari orang-orang di sekitar kita nanti tentang pengasuhanmu."
***
Jadi ibu itu nggak semudah membuat kue bolu. Uplek sana uplek sini, pake resep ini itu dan viola! Semua jadi legit beraroma.
No! Jadi ibu itu perjuangan. Yes, perjuangan menghadapi kerasnya tantangan dalam dunia bernama “parenting”
Dulu, sebelum punya anak, saya terlalu nggampangke. Bayi kecil bisa apa sih? Paling-paling tidur, nangis, nenen, pup, tidur lagi. Udah deh… kelar. Saya bisa makan, dandan, nonton tivi sepuasnya sembari nyusuin atau nina boboin si kecil.
Tapiii… kenyataan tak pernah seindah bayangan. Begitu bayi pertama saya lahir, ah belum juga lahir ding, saya sudah didera penderitaan dan ketakutan yang amat sangat.
Tiga hari flek disusul bukaan yang tak kunjung bertambah, nyeri sangat di perut bagian bawah tapi sama dokter selalu diminta untuk pulang lagi, membuat saya lemah. Hati dan fisik. Di hari keempat flek, saya nggak bisa makan lagi dan berujung pada kunjungan mendadak ke dokter kandungan. Berikutnya, saya masuk ke kamar bersalin dengan selang infus dan induksi yang menurut dokter akan membantu saya menuju proses pembukaan sempurna.
Tapi apa daya, usaha itu nggak membuahkan hasil. Dan akhirnya saya berakhir di meja operasi. Dengan fisik yang sangat lemah, air mata beleleran ke mana-mana, dan otak yang mulai berhalusinasi. Tak mungkin lagi menerima bius lokal, dokter terpaksa menyuntikkan bius total untuk menidurkan saya.
Ya, begitulah anak pertama saya lahir. Saya shock, mentally down dan bayi saya dipisahkan cukup lama. Saya baru bisa melihatnya hampir 12 jam setelah kelahirannya, itupun sudah dengan kondisi dia meminum susu formula.
Here it comes, cobaan kedua datang. Air susu yang saya harapkan muncrat-muncrat berlimpah, nyatanya nggak keluar barang setetespun. Luka sayat di perut ditambah lagi gas yang masih memenuhi lambung, membuat kondisi fisik saya terlalu lemah. Meski menyodorkan si bayi untuk saya susui, suster nggak menunjukkan empati apapun pada ibu baru yang masih nol pengalaman ini.
Boro-boro memompa semangat, mereka malah kelihatan nggak sabar untuk ngasih susu formula (lagi) sama anak saya. Saya yang waktu itu sama sekali buta informasi soal menyusui dan tumbuh kembang anak, mendadak linglung. Di satu sisi saya merasa depresi. Di sisi lain, saya sangat “benci” pada sosok kecil yang tiba-tiba mengacaukan hidup saya itu. Nggak ada keinginan saya sedikitpun untuk membuai apalagi memeluknya dengan sayang. Tubuh saya -well hati saya sebenarnya- terlalu sakit untuk menyayangi orang lain.
Sirna sudah harapan indah menimang bayi lucu yang dulu selalu memenuhi benak saya. Berganti dengan bayangan abu-abu yang menakutkan, nyeri perut yang begitu hebat, tubuh yang lemah setelah hampir 2 hari nggak makan apa-apa, sampai halusinasi yang menguasai diri ini. Saya bahkan muntah-muntah dan nggak sadarkan diri di hari ketiga, setelah dipaksa duduk oleh suster dan ditinggalkan begitu saja. Ohh… Tuhan.
Entah karena kondisi itu atau memang waktu itu (14 tahun yang lalu), sosialisai ASI belum segencar ini, bayi saya pun menenggak bermili liter susu formula. Saya yang tergeletak lemah, tak mampu berbuat banyak. Meski setiap hari mencoba untuk menyusui, faktanya payudara saya tetaplah kerontang.
Air mata mulai mengalir. Penyesalan dan rasa sedih yang nggak bisa dijelaskan alasannya, tiba-tiba menggulung hati menjadi ciut. Saya mulai menangis, marah sama situasi, marah sama diri sendiri, marah sama bayi, emosi jiwa melanda. Hingga tiba saatnya saya harus pulang, dokter hanya berbisik supaya saya happy biar ASI cepat keluar.
Heloow, adakah di antara kalian yang sedang membaca tulisan ini mengalami hal yang serupa?
Sabar ya! Cuma itu yang bisa saya katakan. Nggak ada kata-kata lain yang bisa mewakiliki perasaan kalian. Saya pernah merasakannya, jadi kalian enggak sendirian. Yang kalian rasakan itu wajar.
Di rumah, saya terus mencoba untuk menyusui si bayi. Ya, saya menyusui dengan kondisi payudara kering, pecah, berdarah dan yaaa.. begitulah kondisinya. Anak saya memaksa meminta jatah air susu yang tak bisa saya berikan, karena itu dia terus menyedot puting saya, membuat luka yang ada makin parah, dan dia tetap kelaparan. Tak peduli seberapa kuat dan lama dia mengisap, puting saya tetap kering. Dan perutnya kosong. Huhuhu…
Nggak heran bayi saya rewel setengah mati. Sayanya stres setengah hidup. Dan mungkin kami adalah pasangan ibu dan bayi yang sama-sama terluka. Saya tak tahu lagi kapan hari berganti. Tanggal dan hari apa, tak lagi jadi perhatian saya. Dengan bayi yang hampir 24 jam dalam gendongan, saya benar-benar hampir gila. Jangankan makan, untuk tidur saja saya kewalahan. Badan saya menyusut drastis, berkurang 20 kg sejak melahirkan 2 minggu sebelumnya. Dan jiwa saya goncang.
Anak saya akan menangis kencang saat lapar, haus, ngantuk, mau pipis, dan hampir setiap saat. Tangisannya membuat dunia saya pecah, saya linglung, takut dan marah. Puting saya jejalkan berharap dia berhenti. Tak ada kemajuan. Dot berisi susu formula pun ia tolak. Saya benar-benar habis akal mengatasi kerewelennya itu.
Di tengah kondisi yang sulit, ibu mertua mengucapkan kalimat yang saat itu benar-benar membuat saya ambruk. “Ibunya aja nggak tenang, rusuh aja, gimana anaknya mau diem. Wes, sini aja sama uti, ibunya ngalih wae!”
Gubrak! Dan tangisan saya pecah! Kepercayaan diri saya ndlosor entah ke mana. Saya merasa jadi ibu yang gagal, ibu yang nggak berguna, dan bayi sayalah penyebabnya. Seketika rasa sedih dan takut menguasai diri saya, membuat pikiran saya nyaris tak bisa berfungsi.
Anak saya terus menangis. Saya yang tak lagi tahan melihatnya kelaparan nggak punya pilihan lain selain memberinya jalan pintas: susu formula bekal dari rumah sakit sebelumnya. Dan mulai hari itu, bayi saya jadi “anak sapi”. Bukan saya nggak mau nyusuin atau kurang keras berusaha, tapi baby blues sybdrome merampas sedikit kewarasan saya kala itu. Dan yah, honestly it was a horor living with a baby beside me.
Saya tetap menyusui, meski hampir nggak ada ASI yang menetes. Saya sudah melakukan segala daya upaya untuk mem-boost- ASI sambil berharap hari berganti hari dan payudara saya bisa mengucurkan ASI. Kenyataan yang sampai bayi saya tumbuh besar tinggal harapan.
***
Jadi, buat kalian ibu-ibu yang baru punya anak pertama, bersabarlah! Saya mau bilang sama kalian “Menyusui itu nggak mudah. Butuh perjuangan dan keihklasan. Nggak cukup berbekal PD dan nggampangke. Menyusui itu nggak akan lancar kalau hati kita nggak happy dan rela untuk anak.”
Menyusui itu adalah proses kehidupan yang sangat penting bagi kita, ibu dan bayi. Perlu kedekatan emosional antara ibu dan bayi, supaya kasih sayang yang terajut menghadirkan kenyamanan dan ikatan yang indah. Dari situlah ASI mengalir dengan lancar.
Jangan bayangin menyusui itu seindah iklan-iklan di tivi. Yang ibunya bisa dandan cantik, duduk manis di kursi goyang dengan bayi lucu yang wangi menempel di payudara. Saya menyusui dengan kondisi acak adut. Badan bau asem, keringat beleleran ke mana-mana, perut kelaparan dan bayi yang merengek.
Belajarlah dari pengalaman saya. Stres dan penolakan, membuat hubungan saya dan bayi begitu buruk. Baby blues syndrome menjadi penghalang menakutkan, yang membuat saya tak bisa menyusui dengan sempurna. Dan itulah yang masih saya sesali sampai hari ini.
Karena itu, saya bertekad mengubah keadaan saat hamil anak kedua. Dan, yes, begitu mindset saya berubah, saya bisa menyusui dengan lancar. Bahkan sampai 3 tahun!
Nah, untuk kalian yang mungkin mengalami hal yang mirip-mirip sama saya dulu, jangan diam saja! Bergeraklah, mintalah bantuan, datangilah psikolog, konselor laktasi atau siapapun yang bisa memberimu kekuatan. Jangan kayak saya, diam saja sampai tahu-tahu anak saya kena HERNIA di usianya yang belum genap sebulan. Dan itulah titik balik saya tersadar dari Baby blues dan mulai berdamai dengan keadaan. Saya mulai mencintai anak saya, meski tetap tak bisa memberinya ASI.
BABY BLUES SYNDROME does exist. And it hurts!
Ingat satu hal, Moms, kalian nggak sendirian. Ada banyak ibu-baru seperti saya dulu, yang mungkin berada dalam posisi yang sama. Kalian yang sedang begitu gelisah dengan kehidupan yang baru, tanggung jawab yang baru, dan perubahan yang drastis, ingatlah bahwa KALIAN PUNYA TEMAN.
Kalaupun sudah berusaha semampunya dan ASI tetap hilang entah kemana, tetaplah bersyukur. Itu mungkin akan menjadi penyesalan mendalam seperti saya. Tapi saya mau katakan, itu bukan dosa. Bukan salah kita. Tuhan pasti punya rencana dengan mengizinkan semua itu terjadi, yang penting kita sudah berusaha. Percayalah, Dia memperhitungkan semua jerih lelahmu, dan juga air matamu.
Sekali lagi, kalau kalian butuh teman, saya ada di sini. Juga jutaan ibu lain di luar sana, yang pastinya selalu mendukung kalian. Ayo, kalian pasti bisa!! Ganbatte!!
Love sincerely,
8 Komentar
Jadi benar-benar merindukan hadirnya sikecil di dalam rumah kami yang mulai sepi karena semua sudah mulai sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan masing-masing
BalasHapusAku dulu waktu menyusui juga sakit, mbok. Payudaraku lecet, jadi cuma sampai 3 bulan doang netek'i anak. Ben nyusui kudu ngamok ae rasane. Tapi, kita nggak sendiri <3
BalasHapusTulisan ini keren banget 😍😍😍😍
BalasHapusSaya pun mengalami baby blues 4 bukan pertama setelah kelahiran anak pertama. Yang saya rasakan sama...hampir gila. Tersadar setelah tanpa sengaja baca berita tentang broke shield yang mengalami sindrom pasca melahirkan, bahkan lebih parah dari yang saya alami. Alhamdulillah.. sedikit demi sedikit sakit itu hilang berganti keikhlasan dan rasa syukur.
Thanks ya mbak, tulisan ini makin membuat saya bersyukur
Ahh, I've been there Mbakyu. Asi muncrat? Yang penting Najwa selalu glegeken dan nyenyak setelah ngASI udah cukup.Beratnya juga nambah terus. ASI gak metu saat di-pumping, gpp. Gak dosa kok dan gak mengurangi nilai kita sebagai Ibu. Semoga Ibu-ibu baru gak perlu berkecil hati karena tidak seperti ibu yg lain
BalasHapusTulisannya bener-bener ditulis dengan sepenuh hati ini mah. Sampe-sampe bikin jlebb. Apalagi saya sendiri pernah ngalamin baby blues juga saat masih jadi ibu baru, hiks. Rasanya luar biasa, yak.
BalasHapusAlhamdulillah, saya pun banyak belajar dari pengalaman dia kali melahirkan: normal dan sesar. Lalu jadi paham lebih dalam dunia emak2 dg segala perbedaannya. Kita semua pejuang, kok! Makanya saya emoh ikutan ribut bandingin perjuangan antar emak, semua berat, euy.
Pengalamannya agak serem ya, Mbak. Aku juga sesar, sih. Dua kali malahan. Btw, aku rada stress itu waktu lahiran anak kedua. Mungkin karena nggak kuat bagi perhatian ke kakaknya, jadi bawaannya pengen marah mulu ama kakaknya. Untung suami sigap, Kakak Dani "dijauhkan" terus dariku. Seorang ibu yang melahirkan itu memang butuh support lahir batin ya, Mbak. Sayangnya, lingkungan kita masih banyak yang belum ngeh.
BalasHapusAlhamdulillah mbak pengalaman anak pertama ga semengerikan itu. Meski asi sempat ga keluar, alhamdulillah beberapa hari sudah keluar.
BalasHapusWah, aq juga kena baby blues waktu melahirkan anak pertama, tetapi Alhamdulillah suami selalu mensupport, sehingga tidak masuk terlalu dalam ke baby blues
BalasHapusHi there!
Thank you for stopping by and read my stories.
Please share your thoughts and let's stay connected!