Anak Kasar dan "Bandel" Salah Siapa?

Nggak kerasa udah hampir setaun Kevin sekolah di TK A. Bulan depan, dia bakalan naik dan masuk ke kelas TK B. Well, kalau diinget-inget selama setaun ini perjuangan saya nungguin Kevin sekolah tuh mayan jugak lo Moms.

Gimana enggak, meski di awal-awal sekolah (sekitar semingguan pertama) dia excited banget, masuk minggu kedua ndilalah ada kejadian yang nggak ngenakin. Salah satu temennya, sebut saja namanya Lolo (entah sengaja atau nggak) ngedorong dari depan dan dia terjatuh sampai sikunya berdarah. Temennya sih udah diajarin minta maaf, tapi Kevin terlanjur terluka. Haduuuhh…

Sejak saat itu, dia mulai takut sekolah, enggak mau ditinggal dan parahnya lagi saya harus nungguin dia tepat di belakang kursi, hanya demi dia mau ngikutin pelajaran. Pernah saya tinggal sekali dua kali, nyumput (sembunyi) di kejauhan. Hasilnya? Guru-gurunya nggak ada yang bisa menaklukkan dan setelah berjam-jam nangis sampe kelelahan, akhirnya para guru pun nyerah dan saya dipanggil. Huhuhu…

Sempat 4 bulanan lebih saya harus nungguin dalem kelas, mulai dari jongkok, duduk njepit, sampai ndlosor sudah dilalui. Hingga akhirnya menjelang akhir semester 1 Kevin mulai bisa beradaptasi dan mau sendiri di kelas. Saya pun akhirnya bisa menghirup udara segar sementara dia belajar dan bermain di kelasnya.

Kevin memang tipikal anak yang halus perasaannya. Dia mudah tergugah dengan apa yang dilihat di sekitarnya. Kadang, dia juga gampang berempati saat temannya terjatuh, nangis atau apalah yang menurut dia patut dikasihani. Karena itu, saat berhadapan dengan anak-anak yang “lebih keras” dia mudah mengkeret.




Nah, masalahnya di kelasnya dia itu ada 5 anak lelaki yang -duh gimana ya ngomongnya- serba salah saya nulisnya. Mau bilang mereka itu bandel, ntar kan dibilang nggak boleh labelling anak. Tapi kelima anak ini memang spesial. Dari awal masuk udah bikin onar dalem kelas dan hampir enggak ada perubahan meski udah mau naik ke TK B.

Well, nggak semua sih, for sure. Dari kelima orang itu, sekarang tersisa 3 orang lagi yang luar biasa tingkah lakunya. Sebut saja Lolo, Nono dan Rei. Ibu guru kelas pun sering sampe geleng-geleng kepala ngadepin keistimewaan mereka. Si Lolo itu paling bisa bikin onar di kelas. Kadang, tanpa sebab apapun dia akan “menyerang” temennya dengan usil. Entah itu sekedar nyolek, nendang dikit, sampai nonjok. I really mean “nonjok” ya Moms. Kenapa? Karena si Lolo ini beneran melayangkan tinjunya dengan kekuatan penuh, kadang disertai dengan umpatan kasar ataupun tendangan yang membahayakan temannya.

Pernah suatu hari saya melepaskan tangannya yang sedang mencengkeram kerah baju Rei. Waktu itu mereka rebutan bola atau apalah saya kurang tahu. Yang bikin saya kaget adalah, ekspresi Lolo yang bener-bener seperti orang gede yang lagi emosi. Tatapannya penuh amarah, matanya merah berair, dan napasnya pendek-pendek. Khas banget orang gede yang mau tawuran. Udah gitu, saya sempat liat tangan kanannya memukul bagian belakang kepala Rei yang akhirnya membuatnya menangis keras. Saya pegangi tangan Lolo yang dengan cepat mencoba melepaskan diri.

Begitu bu guru datang, Lolo pun dibawa ke dalam kelas untuk diajak ngobrol. Mungkin bahasa kerennya konseling yes. Nah, di sana tiba-tiba si Lolo ini menangis keras sampe beleleran air matanya, tapi dia ogah meminta maaf. Meski bu guru udah membujuk dengan segala cara, Lolo tetap bergeming. Dia hanya nangis karena (sepertinya) marah karena ditegur, bukan karena merasa bersalah. Dan ini udah beberapa kali saya amati. Emang ni anak nggak pernah mau minta maaf.

Nggak hanya itu, belakangan Lolo makin bertingkah. Dia meludahi wajah temennya. Yukkk mareee….. anak umur 4 tahunan udah bisa ngeludahin orang Moms! Can u imagine? Dari mana dia belajar hal itu, dan untuk apa? Helaawww….
Yang namanya anak-anak, dengan cepat kelakuan Lolo ini ditiru sama temen-temennya yang tipikalnya sama. Meski sudah diingetin dan diajarin dengan segala cara, mereka bertiga nggak banyak berubah.

Pernah suatu hari saya nyeletuk ke gurunya untuk ngelaporin hal itu sama ortu masing-masing. Dan hasilnya? Bu guru bilang udah bosen ngelaporinnya Moms. Nggak ada tanggapan yang berarti, malah emakya si Lolo terkesan apatis.

Saya pernah beberapa kali bersinggungan sama si emak satu ini. Kan kadang-kadang ada acara anak yang harus dihadiri oleh ortu, nah di situ saya perhatiin deh bagaimana sih orangtua si Lolo ini. Ternyata, si emak emang sepertinya rada cuek. Selama duduk nungguin, dia hampir selalu melototin hape, elus-elus layar dan sibuk ngetik. Entah ngurusin chat di WA atau sibuk posting di medsos. Ntahlah. Yang pasti, si anak meski ditungguin emaknya, gak dapet perhatian jugak.

Trus saya pun ngobrol sama miss-nya yang jadi pengasuh di daycare tempat Lolo ini sehari-hari dititipin. Ternyata di sana kelakuannya pun sama persis! Dan setiap kali miss-miss dari daycare ini laporan ke ortu, jawabannya sama : sang emak denying. Semacam “Nggak mungkin anak saya kayak gitulah. Anak saya mah anteng, baik.” Atau jawaban lain yang keluar dari bapaknya, “Nggak papalah Miss, namanya anak cowok. Mosok suruh diem.”

Helaaww! Missnya keabisan akal dong gimana caranya ngebentuk ni anak biar jadi “anak baik”. menurut Miss X, idealnya membentuk kepribadian anak itu nggak cuma satu pihak. Dalam hal ini sekolah atau daycare. Pihak ortupun berperan penting untuk mendidik anak biar nggak jadi pribadi yang arogan gedenya nanti.

Saking gedegnya, Sampai-sampai si Miss ini curiga ada problem sama ortunya si Lolo. Soalnya, nggak akan ada asap kalau nggak ada api. Bener kan? Dan setelah diselidiki, emang bener ortunya si Lolo ini nggak harmonis. Honestly saya nggak ngerti dengan jelas gimana hubungan rumah tangga pasangan ini (karena Miss X juga nggak open, lagian itu bukan urusan saya), tapi akibat dari ruwetnya hubungan internal keluarga ini berimbas pada karakteristik anak. Yang notabene dia jadi “biang onar” di kelas, dan itu melibatkan banyak anak lainnya.

That’s the point!

At the end, kalau si Lolo pandai berkelahi, pinter menyerang temannya, berkata kasar (yang seharusnya anak TK belum tahu ada kata-kata seperti itu), meludahi orang lain, atau mudah menyalahkan orang, saya jadi berpikir jangan-jangan dia “belajar” di rumahnya sendiri. Dan guru terbaik di sana adalah orang tua! Jangan-jangan dia pernah (atau sering) menyaksikan orangtuanya bertengkar, saling melempar kata-kata kasar, atau hal-hal lain yang seharusnya belum boleh dikonsumsi anak sekecil itu? Ntahlah, speechless saya.

*

Dari kisah nyata di atas, saya ambil beberapa pelajaran penting.
Firstly, sebagai ibu, saya pasti nggak ingin anak-anak saya jadi seperti Lolo. Sebisa mungkin saya kasih contoh terbaik di depan mereka. IBU terutama, adalah role model paling ngehits yang bisa dijadikan contoh anak sejak bayi. Children do what they see.

Secondly, saat ada laporan tentang anak dari pihak lain (let’s say sekolah deh yang gampang), sebaiknya kita nggak denying. Dalam kasus Lolo ini, laporan negatif dari pihak sekolah dan daycare udah berkali-kali loh. Seharusnya orangtua pay attention. Kalau cuma sekali dua kali doang mah oke, mungkin bisa dicuekin. Lah kalo udah berkali-kali? Apa iya anak kita beneran sebaik yang kita kira?

Ya emang lumrah sih orangtua nggak terima kalau ada yang bilang anaknya begini begitu, tapi ada baiknya juga kalau kita kroscek. Bener nggak kelakuan anak kita di luaran semanis saat mereka di rumah. Sudah cukup belum sih kita kasih perhatian ke anak? Jangan-jangan anak nggak dapet kepuasan cinta kasih dari kita dan jadi bengal di luar?
Dampak buruk dari penafikan atau pengabaian orangtua terhadap hal-hal seperti ini bisa membuat anak jadi nggak dapet pendampingan yang seharusnya dia perlukan untuk tumbuh berkembang jadi pribadi yang tulus, hangat, dan manis. Dalam kasus yang lebih berat, apakah hal ini bisa bikin anak-anak seperti Lolo jadi psikopat di masa depan? Aiih…. ngeri.. semoga nggak ya!

Dalam kasus Lolo and the genk ini, I feel sooo sorry buat anak-anak lain yang jadi korbannya. Entah itu hanya sekedar kecolek, ketendang, kejambak, atau perlakuan lain yang nggak mengenakkan. Di sisi lain Lolo pun sebenarnya korban. Korban dari pola asuh yang nggak tepat, yang akhirnya membentuknya jadi seperti itu. Dia butuh diperhatikan, didampingi dan mungkin juga “diobati”. Mengabaikannya hanya akan mengulur waktu dan menjadikan kondisinya makin buruk.

So Moms, let’s us be wise, be realistic! Tanggung jawab kita membentuk anak dengan values yang baik, membimbing mereka menjadi pribadi yang baik, tulus, hangat penuh cinta kasih. Karena itu, yuk jangan alergi sama kritik. Kadang, kritik yang pedas bikin jiwa kita ceunghar (segar, bhs Sunda) dan makin semangat menghadapi hidup!


Posting Komentar

2 Komentar

  1. Semakin dewasa anak mungkin semakin mudah buat kita karena ga perlu gendong, ambilin minum dsb tapi di satu sisi ada banyak PR juga ya mba.. apalagi kalau anak berada di luar pengawasan kita, bareng teman-temannya. Semoga di depan maupun di belakang ortunya anak tetap jadi anak yang menyejukkan ya mba..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mba, parenting is always fun and challenging yah!

      Hapus

Hi there!

Thank you for stopping by and read my stories.
Please share your thoughts and let's stay connected!